PANAS BERAPI HARI INI :: albanjari Online's Feed ::

:: EDISI BUKAN BIASA-BIASA :: TUNGGU PAPARAN 2016

BERSIH 2.0 : Jalanraya bukan ancaman, ia sebagian dari 'the politics of the ordinary' !


Gelombang Kuning di jalan raya sering menjadi sejarah politik banyak negara. Jika di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan bagi menghadapi serbuan Inggeris.

Secara kuku besi, Daendels memaksa agar projek itu siap dalam setahun. Ribuan rakyat di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja keras dan berat. Pemberontakan timbul tapi dipatahkan soldadu. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban : ada yang mati ditembak, lunyai dipukuli, malah tidak sedikit bangunan yang dirusak.

Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlimen, mahkamah, media) tapi terus gagal memberi akses benar kepada orang ramai.

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah para analisis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para politikus di parlimen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.

Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet encroachment of the ordinary.

Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam telah membawa perubahan tersendiri. Para penguasa yang di atas dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat, ”praktis yang sehari-hari dan bersahaja itu mahu tak mahu akan beralih mengancah politik.”

Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia berkunjung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang supir. Di tengah lalu lintas yang kacau itu si supir mengeluh di kota itu semua orang tak patuh aturan. Anehnya kemudian dia seindir melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah tindakan yang terlarang.

Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru ”kehadiran agama” paling terasa : tiap kali ribuan orang tak mematuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para ayatullah yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidupan. Mereka sedang berkonfrontasi dengan hukum syariah yang mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah, tatkala di belakang tabir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya saat untuk bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang Teheran yang diam-diam menikmati alkohol haladan percakapan bebas di ruang privat mereka.

Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaimana jalan raya adalah sebuah arena politik—setidaknya the politics of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini lebih jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu adalah bagian dari gerak sejarah yang selalu menggagalkan keserakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan lalu lintas, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk menertibkan hanya sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki ”ketaatan” atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para pengendara mobil (ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut tiap celah avenue.

Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan. Dengan kata lain, sejarah nafsu dan kuasa. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung sesaknya lalu lintas. Kesesakan itu adalah indikasi bahawa jalan tak cukup—sebuah kegagalan akibat gagalnya para penghuni kota membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang menggerakkan kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.

Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak sekadar sebuah alat transportasi; ia juga sebuah pesona. Dari waktu ke waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena sebuah ”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang sama, komoditi yang memancarkan pesona itu bertaut dengan hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu selalu merangsang kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak hanya satu.

Maka lahirlah ketidakpuasan hati. Sejarahnya belum selesai. Di jalan raya, keserakahan masih berkibar, perebutan ruang masih berlangsung. Pergolakan politik untuk membebaskan diri dari ”empat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya musnah, lingkungan runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!”


0 comments:

:: blank ::

..

albanjari ONLINE blog :: NEW Followers

:: List Blog ::

:: albanjari Online 40's Blog List Update ::

:: Kepada rakan blogger yang mahukan blog disenaraikan di bloglist ABO sila tinggalkan url blog sahabat di ruang shoutbox wak di bahagian sidebar untuk tindakan. Makluman

:: New 30's bloglist@ABO ::

:: Editor albanjari online ::

Semua tulisan di blog ini sekadar mewakili pandangan peribadi penulis. Menulis blog sejak 2006. Mantan Presiden Sekretariat Blogger PAS Perak. Penulis juga seorang ahli bersekutu untuk group Media Perak. Jawatan akhir di dalam politik - Setiausaha Politik.

:: SketsaPRU13@albanjari online V2 |