PANAS BERAPI HARI INI :: albanjari Online's Feed ::

:: EDISI BUKAN BIASA-BIASA :: TUNGGU PAPARAN 2016

(2) The Arts Of War - Perlukah berperang dengan DAP ?

Salam Al Banjari yang dikasihi. Tulisan ini bagus sekali. Ianya ditulis berdasarkan kajian yang berkaitan dengan hal 'the arts of war'. Semoga dapat dimanfaatkan oleh -pejuang-pejuang Islam yang beriman.

Walaubagaimana Pak Sheikh ingin menambah, bahawa selepas dari perang Khandak yang sarat dengan strategi perang Rasulullah S.A.W yang masih bersifat defensive, Allah telah memerintahkan jihad secara offensive melalui beberapa FirmanNya termasuk ayat seperti berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka merasakan kekerasan darikalian. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa". (QS al-Taubah [9]: 123)
Berdasarkan beberapa kitab tafsir, seperti kitab Tafsir Ibnu Katsir dan beberapa kitab tentang jihad yang ditulis oleh ulama benua India seperti Imam Abul A'la Maududi (Jihad in Islam) dan Sheikh al-kabir Abu Hasan Ali an Nadwi, latar belakang turunnya ayat ini dan tafsiran ayat tersebut dapat diperjelaskan seperti berikut:


Ketika ayat ini diturunkan, perintah memerangi kaum musyrik umat islam ketika itu sungguh teruja kerana telah dibenarkan untuk dijalankan. Ini adalah kerana, saat itu Daulah Islamiyah sudah berdiri kokoh. Surah ini juga termasuk di antara surah yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah S.A.W. Tafsir Ayat ini pula, Allah Swt. berfirman:
 
Yâ ayyuhâ alladzîna âmanu qâtilû al-ladzîna yalûnakum min al-kuffâr (Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu). Kata qâtilû merupakan fi'l al-amr dari mashdar kata al-qitâl atau al-muqâtalah. Secara bahasa, kata al-muqâtalah berarti al-muhârabah (peperangan). 

Pengertian peperangan yang dimaksud tentulah perang secara fisik. Adapun kata yalûna merupakan bentuk mudhâri dari al-waly yang berarti al-qurb wa al-dunuw (dekat).Kata yalûnakum pun dapat dimaknai dengan yaqrubûna minkum (yang dekat dari kalian). Bertolak dari makna-makna tersebut, ayat ini dapat dipahami sebagai perintah terhadap kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir yang dekat dengan mereka.

Beberapa ayat dalam surah at-Taubah di atas (yakni ayat 5, 29, dan 36) memang memerintahkan kaum Muslim memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Akan tetapi, untuk bisa memerangi mereka dalam waktu bersamaan tentu tidak mungkin. Yang mungkin bisa dilakukan adalah memerangi sekelompok di antara mereka terlebih dulu. Karena harus dipilih, maka kaum yang paling dekat dengan merekalah harus didahulukan. Inilah skala keutamaan yang ditetapkan ayat ini.


Ar-Razi, az-Zuhayli, dan ash-Shabuni menuturkan, ketika Allah Swt. memerintahkan kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Dia pun mengajarkan metod yang paling tepat dan sesuai untuk dilalui , yakni mereka harus bermula dari kawasan/wilayah yang dekat-dekat, kemudian barulah beralih kepada wilayah yang jauh-jauh.

Dengan metod ini, kewajiban untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan dapat tercapai. Metod inilah yang ditempuh oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat RaddiahLLah anhum. Dengan yang demikian pada peringkat awalnyabaginda S.A.W , memerangi kaumnya, kemudiannya, bangsa Arab di Hijaz, kemudian, Syam. Dari Madinah, Syam memang lebih dekat dibandingkan dengan Irak, Persia, atau Mesir. Setelah Syam dapat dikuasai pada masa Sahabat, kaum Muslim baru beralih ke Irak, berikutnya kewilayah-wilayah lain.

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walyajidû fîkum ghilzhah (dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian). Makna ghilzhah adalah dhidd ar-riqqah (lawan dari halus); yang boleh juga dimaksudkan atau berarti syiddah (keras), quwwah (kuat), dan hamiyyah (gagah berani).

Menurut al-Andalusi dan al-Baqa'i, dalam ayat ini, kata ghildhah digunakan untuk menunjukkan syiddah li al-harb (kerasnya peperangan). Menurut lahiriah ayat ini, yang diperintah untuk merasakan sifat ghilzhah adalah kaum kafir. Akan tetapi, perintah itu sebenarnya ditujukankepada kaum Mukmin. Mereka diperintahkan memiliki sifat-sifat yang disebutkan itu, yakni sifat ghilzhah dengan segala makna yang tercakup di dalamnya.

Dengan demikian, ayat ini menggunakan musabab untuk menyatakan sebab. Artinya, jika kaum kafir dapat merasakan betapa kerasnya kaum Muslim, hal itu disebabkan oleh kerasnya prinsip perjuangan kaum Muslim terhadap mereka.

Perintah untuk memiliki segala sifat yang tercakup dalam kata ghilzhah itu amat tepat. Sebab, demikianlah tabiat dan kemaslahatan dalam peperangan. Untuk memperolehii kemenangan dalam sesuatu peperangan, sifat tersebut harus dimiliki kaum Muslim (Lihat juga surah at-Taubah ayat 73).

Ayat ini ditutup dengan firmanNYA: Wa'lamû anna Allâh ma'a al-muttaqîn (Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Di akhir ayat ini Allah Swt. mengingatkan bahwa Dialah Penolong hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Berdasarkan tafsiran ayat ini dan berdasarkan pembacaan Pak Sheikh yang tak berapa cerdik nih, dapat kita petik beberapa pelajaran diantaranya:

1. Jihad offensive.
Menurut ayat ini, jihad yang diwajibkan terhadap kaum Muslim tidak hanya bersifat difâ'î (defensive, membela diri), namun juga ibtidâ'i (ofensive, memulai perang terlebih dulu). Ayat ini jelas memberikan kesimpulan demikian.

Patut dicatat, jihad ibtidâ'i ini harus dilakukan di bawah komando Daulah Islamiyah. Pasalnya, jihad ini dilancarkan dalam kerangka futûhât, yakni upaya memperluas wilayah kekuasaan Daulah Islamiyah dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya dikuasai penguasa kafir dan sistem kufur. Selanjutnya, wilayah yang telah ditaklukkan tersebut diintegrasikan dengan Daulah Islamiyah. Bertolak dari fakta ini, jihad futûhât tidak boleh dilakukan jika tidak ada Daulah Islamiyah.

Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dulu. Ketika Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara di Madinah, beliau pun mengirim banyak misi jihad dan pasukan perang ke wilayah-wilayah lain. Tidak jarang, baginda S.A.W yang memimpin langsung pasukan tersebut. Selama Rasulullah S.A.W hidup, beliau telah memimpin 27 kali peperangan. Adapun jumlah utusan dan ekspedisi ketenteraan yang tidak beliaupimpin mencapai lebih 60 kali.

Dengan jihad ibtidâ'i inilah wilayah kekuasaan Islam terus mengalami perluasan. Jika di awal berdirinya, luas wilayah Daulah Islamiyah sekitar274 batu persegi (kota Madinah), maka sepuluh tahun kemudian, ketika Rasulullah S.A.W menghadap Tuhannya, luas wilayah Daulah Islamiah telah mencapai lebih dari 1.000.000 batu persegi.

Kewajiban jihad ibtidâ'i ini juga tidak terlepas dari konteks dakwah. Disebutkan bahwa tatkala Rasulullah saw. hendak memberangkatkan pasukan perang, beliau menyampaikan beberapa pesan kepada panglimanya. Di antara pesan beliau:

"Jika kalian bertemu dengan musuh kalian dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka pada tiga pilihan, mana saja di antara ketiganya, selama mereka bersedia memenuhi seruanmu, maka terimalah dan tahanlah dirimu dari menyerang mereka. Ajaklah mereka memeluk Islam. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah dirimu untuk menyerang mereka….Jika mereka enggan (memenuhi seruan kalian), mintalah mereka membayar jizyah. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah diri kalian untuk menyerang mereka. Jika mereka enggan juga, mintalah perlindungan kepada Allah, kemudian perangilah mereka. (HR Muslim).

2. Keharusan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban jihad.

Dalam ayat ini, kaum Muslim diperintahkan agar memiliki sifat ghilzhah dalam perang menghadapi kaum kafir. Ini berarti, mereka harus menyiapkannya secara sungguh-sungguh sehingga kaum kafir dapat merasakan kerasnya pasukan kaum Muslim dalam pertempuran.

Prinsip ini patut ditanamkan dalam diri setiap umat Islam yang beriman. Ini adalah kerana jihad dimedan perang terkategori dalam tindakan menolong agama-Nya, dan bagi siapapun yang menolong agama-Nya dijanjikan memperoleh pertolongan-Nya (QS Muhammad [47]: 7). Umat Islam yang beriman tidak boleh meninggalkan faktor-faktor sababiyyah yang mampu membawa obor kemenangan. Mereka harus mengerahkan segala kemampuan yang kuat sehingga menjadi pasukan yang kuat dan handal. (Lihat juga: QS al-Anfal [8]: 60).

Jika kaum Muslim dapat menunjukkan keperkasaan kekuatan militernya, jelas setiap musuh akan merasa gentar menghadapi kaum Muslim. Rasa gentar ini akan menyebar luas kepada musuh-musuh yang nyata maupun yang ada potensi untuk menjadi musuh, sehingga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mencegah kemunculan pihak-pihak yang hendak melakukan kerosakan pada umat ini.

Pasukan Islam pun tidak perlu melakukan banyak perlawanan. Dengan begitu, pertumpahan darah pun dapat dihindari. Inilah yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Amat sering pasukan Islam memperoleh kemenangan tanpa mendapatkan tentangan yang bererti dan tertumpahnya darah. Di antaranya adalah peristiwa dibebaskannya Makkah. Makkah dapat dikuasai pasukan kaum Muslim tanpa harus menumpahkan darah. Demikian juga pada saat Perang Tabuk. Ketika pasukan Islam yang berjumlah 30.000 orang sampai di Tabuk, pasukan Romawi-negara super power saat itu-sudah ramai yang meninggalkan daerah itu. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

"Aku dimenangkan dengan rasa takut (yang dialami pasukan musuh) sepanjang satu bulan perjalanan. (HR al-Bukhari)".

3. Resepi memperolehi pertolongan.

Dalam ayat ini ditegaskan, Allah Swt. bersama orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ma'iyyah dalam ayat ini bermakna pertolongan dan perlindungan Allah Swt. Itu berarti, siapapun yang ingin mendapatkan pertolongan Allah Swt., dia harus mengikatkan dirinya dengan semua perintah dan larangan-Nya, termasuk kewajiban jihad dengan segala ketentuannya.

Bertolak dari prinsip tersebut, kaum Muslim tidak perlu takut, cemas, ragu, dan khawatir terhadap kekuatan musuh-musuhnya dalam menjalankan jihad, karena Allah Swt. bersama mereka. Jika Allah Swt. telah menjadi Penolong mereka, tentu tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka. Jadi, masih takutkah kaum Muslim mengibarkan bendera jihad melawan musuh-musuh mereka?

Maaflah Raden Wak Al Banjari, panjang sangat ulasan Pak Sheikh. Sebenarnya tulisan ini telah Pak sheikh tulis selepas membuat sedikit kajian(maklumlah, Pak Sheikh bukan ulamak) untuk menjawab seorang Pak aji yang merupakan penyokong geng lembu yang mengunakan ayat ini dalam konteks yang tak betul dalam komennya dalam blog sahabat kita, (teman dah lupa blog yang mana). Seolah dia mengajak umat Islam di Malaysia ini memeranggi setiap orang kafir seperti ahli DAP dan kaum hindu.

Puak ini, mungkin tak baca tafsir dan latarbelakang ayat ini turun, tetapi pandai-pandai dan secara semberono memetik ayat ini untuk meniup kebencian umat Islam di negara ini terhadap agama hindu dan agama lain. Pak Sheikh anggap ianya cukup merbahaya. Dia lupa umat Islam di Malaysia, belum mempunyai sebuah daulah Islamiah. Dan arahan perang secara offensive ini bukan boleh dibuat oleh seorang hamba tuhan, khususnya Pak aji dari geng seret dan pijak kepala lembu tetapi atas perintah Pemerintah tertinggi Daulah Islamiah.

0 comments:

:: blank ::

..

albanjari ONLINE blog :: NEW Followers

:: List Blog ::

:: albanjari Online 40's Blog List Update ::

:: Kepada rakan blogger yang mahukan blog disenaraikan di bloglist ABO sila tinggalkan url blog sahabat di ruang shoutbox wak di bahagian sidebar untuk tindakan. Makluman

:: New 30's bloglist@ABO ::

:: Editor albanjari online ::

Semua tulisan di blog ini sekadar mewakili pandangan peribadi penulis. Menulis blog sejak 2006. Mantan Presiden Sekretariat Blogger PAS Perak. Penulis juga seorang ahli bersekutu untuk group Media Perak. Jawatan akhir di dalam politik - Setiausaha Politik.

:: SketsaPRU13@albanjari online V2 |